Perlukah Antibiotika?

Halo pembaca,

Waktu terus berlari menuju penghujung tahun 2015. Musim panas yang penuh gelak tawa disambung oleh perubahan warna daun menjadi kuning, merah dan jingga. Satu persatu daun berguguran seiring tiupan angin dan awan kelabu. Terkadang matahari pun menyapa dedaunan yang berjatuhan hingga kini nampak pohon-pohon kering kerontang; terdiam sabar hingga saatnya nanti saatnya bersemi kembali. Dalam masa pemulihan infeksi tenggorokan ada sebuah pengalaman menarik yang ingin Saya bagikan.
Setelah 3 hari batuk berdahak disertai meriang dan ngilu seluruh tubuh Saya menemui dokter keluarga untuk meminta sarannya. Jujur sebenarnya tersirat ide untuk langsung meminta antibiotik supaya gejala yang ada cepat mereda. Ketika ia melihat rekam medik Saya, dahinya berkerut dan berkata, “Beberapa bulan yang lalu Anda juga terkena infeksi saluran pernapasan dan minum antibiotik.” “Ya, Dok, tetapi sejak beberapa hari yang lalu Saya batuk berdahak (hijau) dan belum ada perbaikan.” “Apa Anda demam?” “Sepertinya hanya meriang.”. Setelah memeriksa tenggorokan, paru-paru dan tekanan darah ia menyarankan obat bahan dasar herbal untuk infeksi pernafasan akut sambil beralasan “cukup istirahat saja seharusnya nanti akan membaik sendiri. Tidak harus minum antibiotika.”. 

Jleb, berarti Saya harus berjuang sekitar 1 minggu hingga radang ini mereda sendiri. Pasrah, Saya pun pulang ke rumah dan berharap obat herbal ini manjur. 

Sembari berkeluh kesah dengan orang tua dan sahabat lewat media sosial, pelan tapi pasti Saya bisa memahami penalaran dokter keluarga ini. Di negara maju indikasi antibiotika jauh lebih ketat untuk membatasi resistensi kuman. Selain itu, saat perubahan musim yang memang rentan outbreak infeksi virus berarti tidak tiap infeksi pernafasan harus diatasi dengan antibiotika. Faktor umur pasien juga berperan penting. Dengan cukup istirahat, minum teh atau jeruk hangat sewajarnya pemuda atau dewasa muda akan pulih dalam waktu 5-10 hari. Bila infeksi makin parah, tentu saja antibiotika akan diresepkan. 

Hal ini mungkin jauh berbeda dengan kondisi di tanah air. 

Pasien yang datang ke praktik dokter umum bahkan ada yang meminta antibiotik tertentu tanpa mau mendengar penjelasan dokter sebelumnya. Bagi mereka antibiotika adalah obat satu-satunya. Belum lagi kalau antibiotika diperjualbelikan tanpa resep. Tak heran bila resistensi kuman di Indonesia menjadi salah satu masalah kesehatan yang tak bisa dipandang enteng. Orang tua dan sahabat pun bertanya sembari menyindir apakah Saya tidak bisa membeli antibiotika sendiri. Jujur, bukan tidak bisa, tidak mau. Mengapa? Karena buat Saya ini hanyalah kondisi sementara. Daya tahan tubuh yang melemah ini membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dan membentuk antibodi melawan kuman yang masuk. 

Moral of the story? Hubungan dokter-pasien seharusnya dilandasi asas kepercayaan. Percaya bahwa dokter yang kita hadapi kompeten dan berniat sebaik mungkin untuk menolong pasiennya. Percaya bahwa tidak semua infeksi tenggorokan harus dilawan dengan antibiotika. Dengan istirahat cukup, makan makanan yang bergizi dan kaya vitamin infeksi virus akan pulih dalam waktu sekitar 1-2 minggu. Semoga pembaca semua sehat selalu 🙂 
Salam,

Valensia

Leave a comment