Surat tanpa alamat

Wahai teman,

Mungkin ini saatnya aku mencanangkan kampanye “jangan mulai merokok” ketimbang “berhenti merokok”. Apa pasal? Bukankah pepatah kita jelas berkata mencegah lebih baik daripada mengobati? 

Wahai teman, cobalah bertanya pada mereka yang terbiasa merokok, bagaimana mereka awalnya mulai merokok. Mulai dari coba-coba, iseng, pengaruh pergaulan hingga alasan stres di kantor. Kemudian galilah dari beberapa teman dekatmu berapa banyak ia merokok, apa ia merasa dampak kesehatan sejak ia merokok. Tak lupa, tanyalah apa anggota keluarga mereka juga ada yang merokok. 

Mengapa?

Segala sesuatu ada muaranya. Tanpa survey yang dapat dipercaya, Saya berasumsi bahwa orang yang merokok memiliki role model” (tokoh panutan) baik sadar ataupun tidak sadar – yang juga merokok. Misalnya, anak kecil yang dibesarkan oleh kakek atau pamannya yang merokok. Dari usia dini sebenarnya anak tersebut belajar bahwa merokok seolah-olah hal yang normal karena orang terdekat mereka merokok dan “tampaknya” baik-baik saja. Seandainya kerabat tersebut suatu hari terkena serangan jantung atau stroke, tentu saja karena kebiasaan merokok, anak tersebut relatif sulit menarik hubungan sebab akibat bila dibandingkan dengan anak yang dibesarkan di keluarga yang tidak merokok.

Sadarkah teman, berapa banyak biaya yang terbuang dari sebatang rokok? Termasuk waktu. Ya, banyak yang alih-alih berpendapat bahwa 5 menit istirahat untuk merokok lebih hemat waktu daripada makan siang 30 menit. Menurut pribadi Saya, hal itu hanya setengah benar. Bagaimana kalau kita menghitung waktu dari keluar kantor atau ruangan hingga ke tempat merokok, sejenak menarik napas, sedikit bercengkrama dengan perokok lain (mungkin 5-10 menit), lalu kembali ke ruang kerja? Tak terasa mungkin 15 menit berlalu, dan kalau mau jujur, apakah rekan kerja yang merokok tidak makan siang, tidak “ngopi”, tidak “bercengkrama” dengan rekan kerja? You get what I mean 😉 

Aku tak ingin mengajak berselisih paham, teman. Kau bilang, merokok membantu melepas stres. Tentu saja, aku pun tak berhenti mengunyah kripik, coklat, dan meminum kopi beberapa cangkir sehari tergantung suasana hatiku. Di sisi lain, pertanyaan yang menggugahku adalah, apakah tidak ada cara lain yang bisa membantu sejenak beristirahat? Hampir di tiap majalah wanita ditulis tips cemilan sehat yang aman untuk lingkar pinggang. Lagu-lagu di Ipodku langsung kuputar begitu waktu kerja usai dan akhir-akhir ini aku memilih jalan kaki untuk menikmati waktu sendirian sejenak dan mendapat tenaga baru untuk menyapa orang tercinta di rumah. Singkatnya, masih banyak pilihan, teman.

Selain itu, tahukah teman bahwa peringatan di kemasan rokok dalam bahasa Indonesia sangatlah “eufemisme” alias sangat panjang dan bertele-tele? Ulasan mengenai kandungan racun dalam sebatang rokok mungkin akan membuatmu tertidur, teman, tetapi fakta itu tetaplah fakta. Dalam bahasa jerman, peringatan yang “mbulet” itu hanya terdiri dari EMPAT kata, yaitu “Rauchen kann todlich sein” (merokok bisa membunuhmu – terjemahan bebas). Singkat, jelas. Kapan ajal tiba, dengan cara bagaimana tentu saja hanya Sang Khalik yang dapat menjawab. Namun, bagi Saya pribadi kalimat itu lebih mudah dicerna menjadi “siapa yang ingin hidup lebih panjang, lebih baik tidak merokok”. 

Dengan penuh rasa hormat, aku yakin negara Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan hak tiap orang untuk memutuskan yang baik bagi dirinya selama tidak melanggar norma, hukum, adat atau aturan yang berlaku. Justru di situ aku merasa ada ketimpangan dan ketidakadilan. Kalau para perokok boleh merokok, dan merugikan kesehatannya sendiri, siapa yang melindungi kesehatan perokok pasif? Risiko kesehatan perokok pasif menurut beberapa sumber justru lebih rentan ketimbang perokok aktif itu sendiri. Lha, apa ada pasal untuk menuntut perokok aktif? Seandainya seorang anak kambuh asmanya atau seorang wanita mengeluh sesak napas karena seseorang di sebelahnya merokok, apa ada hukum yang melindungi mereka? 

Dalam skala global, tentu Indonesia berada di antara negara-negara yang bergantung dari pajak rokok, termasuk pemasukan dari pabrik dan jumlah pekerja (atau buruh pabrik)  yang kabarnya sangat besar. Untuk menutup satu pabrik rokok, bisa dibayangkan krisis ekonomi mikro yang dapat terjadi? Berapa anak putus sekolah, berapa karyawan yang di-PHK, dan sebagainya. Jujur, di sini aku sempat mengalami jalan buntu. Sampai akhirnya, aku tersentak, sadarkah teman, kita ini bagai tikus mati di lumbung beras? Negara kita yang kaya potensi bergantung pada produksi tembakau yang merugikan kesehatan penduduknya sendiri. Betapa tragis dan ironisnya keadaan kita. Mengapa kita tidak bahu membahu (dan pemerintah kita juga berinisiatif) menciptakan lapangan kerja baru yang lebih layak jual, lebih bernilai jual dan lebih bersaing di dunia internasional? Mengapa kita tidak mengembangkan sektor lain seperti pariwisata, industri, pendidikan, kesehatan, properti dll daripada berkubang di lahan nikotin ini? 

Baiklah teman.. Aku tak ingin menggurui siapa-siapa. Betapa banyak orang yang berkata, “aku tidak bisa berhenti merokok”. Mengapa, tanyaku? “Sudah kebiasaan”. Bukankah artinya kebiasaan merokok juga dapat diubah, teman? Betapapun susahnya, aku ingat sebuah cerita lama yang memotivasiku menghentikan  beberapa kebiasaan burukku. 

“Seorang ayah bercerita kepada anaknya, dalam jiwa setiap manusia ada dua serigala; yang baik dan yang jahat. Serigala ini saling bermusuhan, adu kekuatan setiap waktu, dan hanya ada satu yang jadi pemenang.

Anak itu dengan mata penuh ingin tahu bertanya, “Serigalah mana yang menang, Yah?”

Sang ayah tersenyum dan berbiaik, “Serigala yang kamu beri makan yang menang.”

Aku pun berjuang dengan beberapa kebiasaan buruk (menggigit kuku ketika panik, misalnya). Jatuh bangun memang melelahkan, tetapi aku takkan menyerah. Aku pun mendukungmu, teman, seandainya kau berniat untuk berhenti merokok atau sudah beberapa saat berhenti merokok. Aku benar-benar bangga atas keputusanmu. 

Akhirnya, aku harap teman, engkau tidak pernah mulai (belajar) merokok. Kalau mereka bilang, kamu bisa berhenti merokok kapan saja, buka matamu dan amati apakah mereka bisa hidup tanpa rokok. Ingatlah teman, kalau kau masih sendirian, merokok tidak akan membuatmu lebih mudah mendapat pacar. 😉 Tiap wanita pasti ingin pendamping yang sehat, cerdas dan berintegritas.

If you are smart, don’t smoke. 

Salam, 

Valensia

Leave a comment