Sepekan di Chennai

IMG-20160322-WA0007

Hallo Pembaca,

Lama tidak berjua. Bukan karena alasan pekerjaan semata, kesehatan yang agak menurun dan perjalanan 10 hari ke India menyita banyak waktu dan perhatian. Betul, persiapan yang sangat menyita waktu akhirnya berakhir juga. Demi memenuhi undangan pernikahan seorang teman baik, bulan Maret yang lalu Saya menghabiskan waktu sekitar 1 minggu di Chennai. Sekadar info, liburan di Chennai ini diatur oleh teman Saya dalam rangka pesta pernikahannya. Jadi, Saya dan teman-teman undangan yang lain tidak banyak bisa bertualang sendiri. Banyak suka duka yang menurut Saya terlalu “dramatis” untuk diceritakan, tetapi ada beberapa hal yang bisa dibagikan.

Pertama, sinar matahari! Mungkin ini bukan hal yang spektakular bagi teman-teman di Indonesia, tetapi bagi kami yang tinggal di Eropa dan kebetulan berada di belahan bumi utara, sinar matahari menjadi sebuah hal yang langka. Setelah hampir 5 bulan memandang langit yang kelabu, suhu berkutat di bawah 10° C dan angin yang menerpa wajah terasa sedingin es, perubahan cuaca yang ekstrim menyebabkan sakit kepala selama liburan di India. Menyerah? Jangan harap, cukup istirahat, minum air dan obat (pilihan terakhir) setiap hari kami menembus kemacetan kota Chennai sembari membeli perlengkapan untuk pesta pernikahan teman Saya. 

Selanjutnya, entah kenapa Saya sempat berpikir perjalanan ke India akan mengobati nostalgia atau rasa rindu tanah air. Suhu dan kelembaban yang mirip Indonesia, kemacetan dan korupsi yang tidak jauh dengan di ibukota juga kesenjangan ekonomi penduduknya justru membuat Saya ingin tinggal lebih lama. Hanya ingin duduk mengamati mereka, karena buat mereka Saya orang asing. Sama seperti di Indonesia pun, kami keturunan Tionghoa harus mendengar nada sumbang SARA dimana-mana. Miris, ironi, entah kenapa hal ini justru teringat saat matahari mulai tenggelam. Bahasa anak muda sekarang: “baper” (terbawa perasaan).

Sebelum makin melow alias melankolis, bagi kaum hawa India mirip dengan Indonesia dalam hal belanja. Banyak barang-barang grosir dan mall dimana-mana, nah yang lebih seru lagi aksesoris yang ditawarkan beraneka ragam mulai dari anting hidung hingga gelang kaki, bermacam warna dan bahan, juga tergantung kebutuhan (untuk pernikahan dll). Harganya pun bisa tawar menawar seperti yang kita kenal di pasar tradisional. Singkat cerita, harga aksesoris sehari-hari bisa dibilang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan di Eropa. Dengan kualitas bahan yang lebih baik, harga baju atau syal akan lebih sedikit lebih murah bila dibandingkan dengan di Jerman. Dalam hal ini Saya tidak mau mengungkit masalah “fair trade“, “bio” atau masalah etis lainnya.

Terakhir, wisata kuliner pastinya. Sama seperti Indonesia, India juga terdiri dari bermacam-macam suku, budaya dan bahasa. Makanannya memang hampir selalu dibumbui kari tetapi sangat kaya rasa dan bumbu.  Di sisi lain, makanan penutupnya agak terlalu manis. Kebiasaan makan di Eropa yang berurutan dari makanan  pembuka, utama dan penutup dijumpai di India hanya dalam satu piring (nama menunya Saya lupa, maaf). Di atas piring yang lebarnya sekitar 30 cm disajikan beberapa menu kari (pedas, asin, kari putih, kari kuning, dll) dan dua macam saos (chutney) dan satu mangkok kecil makanan penutup. Nasi atau roti khas India akan ditawarkan bila piring kita mulai kosong (mirip all you can eat). Jujur, Saya menikmati keberagaman yang ada, tapi tidak bisa terlalu banyak. Ketika tamu-tamu lain yang berasal dari London atau Australia melahap satu demi satu menu di piringnya, Saya hanya bisa menghabiskan sepertiga porsi. Malu sebenarnya, hmm.. Ah ya, menu favorit selama di India “brocolli manchurian style“. Mungkin bisa jadi ide seandainya ada kerabat yang liburan di India.

Penutup, pesta pernikahan teman Saya berjalan seperti yang diharapkan. Di tengah kerumunan  orang asing yang mengenakan sari, dua sejoli yang berbahagia mengucapkan janji sehidup sematinya. Penduduk lokal dan kerabat terdekat ikut berbahagia melihat sekitar 30 orang dari beberapa benua mengenakan sari dan pakaian adat untuk pria hadir disana. Selaku tamu, beberapa teman pun tak mau kalah mengabadikan momen penuh kenangan dengan kamera hp atau SLR-nya. Dua kata yang bisa mengungkapkan hari H tersebut: sangat berkesan.

Sekadar info, pengantin perempuan adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa, pernah tinggal di Singapura dan sekarang bekerja di Sydney, sedangkan pengantin prianya (sahabat Saya) adalah orang India yang bekerja di perusahaan multinasional. Total undangan yang “hanya” sekitar 30 orang berasal dari 3 benua dan menguasai minimal 5 bahasa. Sebuah kelompok gado-gado yang amat berbahagia bisa hadir di acara yang sakral itu. Sayangnya tidak semua menghabiskan waktu di Chennai. Banyak yang mengucapkan selamat tinggal setelah resepsi usai dan melanjutkan liburannya menikmati bagian lain dari India.

Perpisahan selalu tidak mudah. Sebuah grup di media sosial yang dibentuk selama perjalanan kami di India menjadi saksi betapa kami berharap untuk bertemu lagi satu sama lain, dimanapun kapanpun.

Entah kapan lagi bisa mengunjungi Taj Mahal dan banyak lagi kota di India, satu tujuan wisata penuh warna, penuh cerita.

Selamat malam,
Valensia

Leave a comment